BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Ijma’
Kata ijma’
secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan “ kesepakatan
tentang suatu masalah”.[1]
Menurut istilah ushul fiqih, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, adalah
“kesepakatan para mujtahid[2]
dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah rasulullah
wafat.
Pengertian lain, ijma’ adalah menurut bahasa, mengandung dua
pengertian, yaitu:
a. Ittifak (kesepakatan) [3] sepeti dikatakan: “suatu kaum ialah
berijma’ tentang sesuatu”, maksudnya apabila merka menyepakatinnya. [4]
b. ‘azam (cita-cita, hasrat) dan tasmin.
Seperti dalam firman Allah SWT:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu
dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (Q.S. Yunus: 71).
Demikian juga dalam hadis rasulullah
SAW:
لاَ
صِيَامُ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعُ الصِّيَامَ مِنَ الَّيْلِ
Artinya: kesepakatan seluruh
mujtahid islam dalam suatu masa sesudah wafat Rasulullah SAW. akan suatu hukum
syariat yang amali’.[5]
Menurut
Muhammad Abu Zahrah para ulama sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai
dalil hukum. Meski demikian, merka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku
kesepakatan, sehingga dapat dianggap sebagai ijma’ yang megikat umat Islam.
Menurut Mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma’ meskipun hanya
merupakan kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal dengan ijma’ ahl
al-Madinah. Menurut kalangan Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para imam
dikalangan mereka. Sedangkan menurut jumhur ulama, kata Muhammad Abu Zahra, ijma’
sudah sudah dianggap sah dengan dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama
mujtahid, dan menurut Abdul Karim Zaidin, ijma’ harus dianggap terjadi bila
manna merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.
1.
Dalil
keabsahan ijma’ sebagai landasan Hukum
a.
Surat
an-Nisa ayat 115:
Artinya:
“Dan
Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
b.
Hadis
Rasulullah, riwayat Abu Daud dan Tirmidzi:
أُمَّتِيْ لَا تَجْتَمْعُ عَلَى الْخَطَأِ. أُمَّتِيْ لَا
تَجْتَمِعُ عَلَى الضَلَالَةِ. لَمْ يَكُنِ اللهِ بِالَّذِيْ يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى
الضَلَالَةِ. لَمْ يَكُنِ اللهِ لِيَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى الْخَطَأِ.
Artinya:
“umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak
akan sepakat melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk
melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan
kesalahan.”
B.
Rukun dan Syarat Ijma’
Jumhur ulama
ushul fiqih mengemukakan lima rukun dan syarat ijma’ sebagai berikut:
1.
Yang
terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh
mujtahid. Apa bila diantara mujtahid ada yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya
kecil, hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
2.
Mujtahid
yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada
masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3.
Kesepakatan
itu diawali setelah tiap-tiap mujtahid mengemukakan pandangannya.
4.
Hukum
yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada
hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an.
5.
Sandaran
hukum ijma’ tersebut haruslah alQur’an dan atau Hadis Rasulullah SAW.[6]
Di samping kelima rukun di atas, jumhur ulama fiqih, mengemukakan
pula syarat-syarat ijma’, sebgai berikut:
1.
Yang
melakukan ijma adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
2.
Kesepakatan
itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil dan berpendirian kuat terhadap
agamanya.
3.
Para
mujtahid yang terlibat adalah mereka yang berusaha menghindarkan diri dari
ucapan atau perbuatan bid’ah.
Ketiga syarat ini disepakati para ulama. Adapun syarat lainnya, di
antaranya:
1.
Para
mujtahid itu merupakan sahabat
2.
Nujtahid
itu kerabat rasulullah SAW. Apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama ushul
fiqih menyebutnya dengan ijma’ sahabat
3.
Mujtahid
itu adalah ulama madinah
4.
Hukum
yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh
mmujtahid yyang menyepakatinya
5.
Tidak
terdapat hukum ijma’ sebelumnnya berkaitan dangan masalah yang sama.[7]
C.
Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama
ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ sudah terpenuhi, maka ijma’
tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti), waji9b diamalkan dan tidak
boleh mengingkarinya, dan bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Di
samping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’, menurut
para ahli ushul fiqh, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi
berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’
setelah al-Qur’an dan Sunnah.
Akan tetapi,
Ibrahim ibn Siyar al-Nazzam (tokoh Mu’tazilah), ulama Khawarij dan ulama
Syi’ah, berpendapat bahwa ijma’ tidak bisa dijadikan hujjah. Menurut al-Nazzam,
ijma’ yang digambarkan jumhur ulama tersebut tidak mungkin terjadi,
karena tidka mungkin menghindari menghindari seluruh mujtahid pada suatu masa
dari berbagai belahan dunia Islam untuk berkumpul, membahas suatu kasus, dan
menyepakatinya bersama. Selain itu masing-masing daerah mempunyai struktur
sosial, dan budaya yang berbeda.
Adapun bagi
kalangan syi’ah, ijma’ tidak mereka terima sebagai hujjah karena pembuat hukum
menurut keyakinan mereka adalah imam yang mereka anggap ma’shum (terhindar
dari dosa). Ulama khawarij dapat menerima ijma’ sahabat sebelum
terjadinya perpecahan politik dikalangan sahabat.
Ijma’ seperti
yang didefinisikan jumhur ulama ushul fiqh di atas tidak dapat mereka terima,
karena sesuai dengan keyakinan mereka bahwa ijma’ itu harus disepakati umat
islam, dan orang yang tidak seiman dengan mereka, dipandang bukan mu’min.
Alasan jumhur
ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qath’I dan
menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ adalah:[8]
1.
Firman
Allah SWT. Dalam surat al-Nisa: 59
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu…”
2.
Hadis
rasulullah:
اُمَّتِى
لَا تَجْتَمِعُ عَلَى الْخَطَأِ
“Umatku tidak akan
melakukan kesepakatan terhadap yang salah. (HR. al-Tirmidzi)”[9]
D.
Tingkatan Ijma’
Dilihat dari
segi cara melakukan ijtihad, ada dua tingkatan ijma’, yaitu:
1.
Ijma’
qauli[10]
(Sarih), yaitu kesepakatan para mujtahid di suatu ketika terhadap hukum suatu
kejadian atau peristiwa dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas
yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan. [11]
Nasrun Haroen dalam bukunya “ushul
Fiqh” Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat melaluli
perbuatan terhadap hukum masalah tertentu.[12]
Dengan kata lain, setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau
perbuatan masing-masing secara jelas.[13]
2.
Ijma’
Sukuti[14]
(zanni)[15],
ialah sebagian mujtahid menyajikan pendapatnya secara jelas terhadap suatu
kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan,
sedangkan mujtahid lainyatidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal
persesuaiannya atau perbedaannya.[16]
Menurut Jumhur
Ulama, Ijma’ Sarih merupakan ijma’ yang hakiki sekaligus dijadikan sebagai
hujjah syar’iyah. Adapun ijma’ sukuti merupakan ijma’ i’tabari lantaran
mujtahid yang tidak mengemukakan tanggapan (diam) belum tentu menunjukkan
persetujuannya. Ijama’ sukuti tidak dapat dikatakan sebagai huujjah, di samping
itu hanya merupakan pendapat sebagian mujtahid.[17]
Ulama hanafiyah
berpendapat bahwa ijma’ sukuti dapat dipakai sebagai hujjah mana kala sudah ada
ketetapan, namun ada mujtahid yang diam saja ketika dihadapkan persoalan
kepadanya serta diuraikan ketetapa yang telah ada mengenai kejadian tersebut.
Namun mujtahid itu tetap diam, dan tidak ada alas an untuk curiga bahwa diamnya
itu lantaran takut atau karena bujukan atau kelelahan atau karena mengejek.
Akan tetapi diamnya mujtahid itu ialah dalam keadaan memberi fatwa atau
keterangan dan pembentukan hukum Islam setelah melalui penyelidikan dan
pembahasan. [18]
Menurut Imam
Syafi’I dan kalangan malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan
pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagian para mujtahid belum tentu
menentukan setuju, karena bisa jadijuga disebabkan takut kepada penguasa
bilamana pendapat itu telah didukung olehh penguasa atau merasa sungkan karena
yang menyampaikan pendapat itu lebih senior. [19]
Dalam hal ini
pendapat yang dianggap baik ialah pendapat jumhur. Seorang mujtahid yang
bersikap diam berarti didominasi oleh berbagai permasalahan dan keraguan, baik
yang bersifat pribadi maupun yang lainnya. Dengan demikian, ia tidak mungkin
memperdalam hal-hal yang bersifat ragu, dan tidak mungkin dapat menentukan
sikap diamnya itu sebagai tanda persetujuan dan menerima terhadap pendapat yang
sudah ada.[20]
Mengenai ijma’
qauli tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha bahwa ijmak yang
seperti ini dapat dijadikan sumber fiqih Islam.[21]
E.
Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Para ulama
ushul fiqh klasik dan modern tlah membahas persoalan kemungkinan terjadinya ijma’. Mayoritas ulama klasik mengatakan
tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan
secara aktual ijma’ itu telah ada.
Contohnya, hukum-hukum yang telah disepakati seperti kesepakatan tentang
pembagian waris bagi nenek sebesar seperenam dari harta warisan dan larangan
menjual makanan yang belum ada di tangan penjual.
Akan tetapi,
ulama klasik lainnya, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa siapa yang
mengatakan adanya ijma’ terhadap
hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid
yang tidak setuju. Oleh sebab itu, menurutnya, sangat sulit untuk mengetahui
adanya ijma’ terhadap hukum suatu
masalah . apabila ada orang yang bertanya apakah ijma’ itu ada dan secara aktual terjadi, menurut Imam Ahmad ibn
Hanbal, yjawaban yang paling tepat adalah “kami tidak mengetahui ada mujtahid
yang tidak setuju dengan hukum ini.[22]
Sekelompok
ulama, di antara mereka adalah An-Nazhzham dan sebagian ulama Syi’ah, berkata:
“sesungguhnya ijma’ yang telah jelas rukun-rukunnya itu tidak mungkin terjadi
menurut adat kebiasaan, karena sulitnya mewujudkan rukun-rukunnya itu. Hal itu
agaknya disebabkan karena tidak ditemukan suatu ukuran yang dengan itu bisa
diketahui apabila seseorang telah mencapai tingkat ijtihad ataukah belum, dan
tiak pula ditemukan suatu hukum yang menjadi rujukan untuk menetapkan bahwa
orang ini adalah seorang mujtahid atau bukan seorang mujtahid.[23]
Di antara hal
yang menguatkan bahwa ijma’ itu tidak mungkin terjadi adalah bahwasanya jika
ijma’ itu terjadi, maka harus disandarkan kepada dalil, krena mujtahid syar’i
itu harus menyandarkan ijtihadnya kepada dalil.
Dalil yang dijadikan sandaran oleh para pembuat ijma’ (mujmi’un) itu
jika dalil qathi, maka termasuk mustahil menurut adat untuk tersembunyi. Karena
bagi umat Islam tidak tersembunyi bagi mereka dalil syar’i yang qath’I sampai
mereka memerlukan kembali kepada para Mujtahid dan ijma’ mereka, jika dalil itu
zhanni, maka mustahil menurut adat untuk terbit ijma’ karena dalil zhanni tidak
bisa tidak, menjadi obyek pertentangan.
Jumhur ulama
berpendapat bahwasanya ijma’ itu dapat terjadi menurut adat. Mereka berkata:
sesungguhnya pendapat yang dikemukakan oleh orang-orang yang mengingkari
kemungkinan terjadinya ijma’, adalah merupakan hal yang nyata. Sekalipun
dikemukakan dalil atas kemungkinan terjadinya.
Mereka
menyebutkan beberapa contoh sesuatu yang telah ditetapkan oleh ketetapan ijma’,
seperti kekhalifahan Abu Bakar, keharaman lemak babi, pemberian harta warisan
seperenam bagi nenek perempuan, dan sebagainya.
Pendapat yang
dipilih adalah ijma’ tidak terjadi secara adat, apabila persoalannya diserahkan
kepada person-person umat Islam dan bangsa-bangsanya. Ijma’ itu dapat terjadi
apabila dipimpin oleh pemerintahan-pemerintahan Isalam yang beraneka macam.
Jadi setiap pemerintahan-pemerintahan Islam dapat menentukan syarat-syarat,
yang dengan kesempurnaannya seseorang dapat sampai ke derajat ijtihad, dan
memperbolehkan ijtihad kepada orang yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut.
Dan dengan ini setiap pemerintah dapat mengetahui para mujtahidnya dan
pendapat-pendapat mereka tentang peristiwa apa pun. [24]
Menurut Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, mengatakan dalam bukunya “Ushul Fiqh 1” kemungkinan terjadinya ijma tidak mungkin terjadi
menurut lazimnya karena tidak mungkin merealisasikan rukun ijma’ tersebut
secara penuh. Alasannya ialah:
1.
Tidak
ada suatu ukuran tertentu untuk mengetahui dan menetapkan apakah seseorang
telah mencapai tingkat pendidikan tertentu yang menyebabkan seseorang patut
disebut mujtahis, karena secarra formal tidak ada lembaga pendidikan yang
menghasilkan mujtahid.
2.
Kalaupun
ada lembaga pendidikan mujtahid dan ada ukuran untuk menyatakan seseorang telah
mencapai derajat mujtahid itu diseluruh dunia, namun untuk dapat menghimpun
pendapat mereka semua mengenai suatu masalah yang memerlukan hukum, secara
meyakinkan atau dekat kepada yakin, adalah tidak mungkin karena mereka berada
dalam lokasi yang berjauhan, dalam tempat yang terpisah serta berbeda latar
belakang sosial dan budaya mereka.
3.
Kalaupun
mujtahid yang ada itu dapat dikenal secara perorangan di seluruh dunia ini dan
dapat menghimpun pendapat mereka menurut cara yang meyakinkan, namun siapa yang
dapat menjamin bahwa setiap mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya
tentang hukum suatu masalah itu tetap pada pendiriannya sampai terkumpul
pendapat mereka semua, karena syarat melangsungkan ijma’ itu ialah bahwa kesepakatan
itu berlaku dalam suatu masa tertentu ketika trjadinya peristiwa yang
memerlukan ijma’ tersebut.
4.
Mencapai
kebulatan pendapat di kalangan mujtahid secara massal itu adalah sesuatu yang
sagat sulit untuk terjadi, sedangkan hakikat ijma’ itu adalah kebulatan
pendapat atau kesepakatan.[25]
[1] Abdul
Wahab Khllaf, Ilmu Ushul Fiqh, Cet.5, Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2005, h.
49
[2] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, Cet.2, Jakarta: KENCANA, 2008, h. 125
[3]
Syarmin Syukur, Sumber-Suber Hukum Islam, Cet.I, Surabaya: AL-IKHLAS,
1993, h. 66
[4]
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Permasalahan dan Fleksibelitas) Cet.I,
Jkarta: SINAR GRAFIKA, 1995, h. 42
[5] Ibid,
Syarmin Syukur, Sumber-Suber,… h. 67
[6] Ibid,
Syarmin Syukur, Sumber-Suber Hukum,… h. 71
[7] Ibid,
Syarmin Syukur, Sumber-Suber Hukum,… h. 72
[8]
Nasrun Haruen, Ushul Fiqh 1, cet. 2,
Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu 1997, h. 54
[9]
Ibid,… h. 55
[10]
Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet.2, Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
2001, h. 69
[11]
Ibid, Syarmin Syukur, Sumber-Suber Hukum,… h. 72
[12] Ibid,
… h. 56
[13] ,
Syarmin Syukur, Sumber-Suber Hukum,… h. 72
[14]
Ibid, Ibid, Syarmin Syukur, Sumber-Suber Hukum,… h. 73
[15]
Ibid, Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul,… h. 70
[16]
Ibid, Syarmin Syukur, Sumber-Suber Hukum,… h. 73
[17]
Ibid, Abdul Wahab Khllaf, Ilmu Ushul,… h. 50
[18]
Ibid, Syarmin Syukur, Sumber-Suber Hukum,… h.73
[19]
Ibid, Satria Effendi, Ushul Fiqh,… h. 129
[20]
Ibid, Syarmin Syukur, Sumber-Suber Hukum,… h. 73
[21]
Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul,… h. 70
[22]
Ibid, Nasrun Haruen, Ushul Fiqh 1,… h. 61
[23]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Cet.
1,… h. 61
[24]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Cet.
1, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 62
[25] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh 1, Cet. 1,
Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu, 1997, h. 116-117
bagus..
BalasHapusblog anda sama degan punya ku.
www.otakcerd.blogspot.com