BAB
I
PENDAHULUAN
Al-Quran
merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Al-Quran merupakan pegangan hidup umat manusia, karena Al-Quran mengandung
segala sumber hukum, ilmu penetahuan, serta berisi tentan tata cara kehidupan
kita dalam keseharian.
Dalam
kesempatan ini penulis akan mencoba untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan
tentang masalah dua hal yang berlawanan tetapi satu sama lain diantara keduanya
tidak dapat dipisahkan yaitu masalah kebaikan dan kejahatan, diantaranya adalah
surah al-an’am ayat 160 dan 22, an-Nisa ayat 79, Hud ayat 114 serta surah
al-Hijr ayat 39-40.
BAB
II
TAFSIR
AYAT-AYAT TENTANG KEBAIKAN DAN KEJAHATAN
A. QS.
Al-An’am : 160
Pada
suatu waktu Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barang siapa berpuasa tiga hari
pada tanggal purnama di setiap bulan, berarti dia telah berpuasa setahun
penuh”. Pada suatu ketika yang lain
rasulullah SAW juga pernah bersabda: “Shalat Jum’at sampai dengan Jum’at
berikutnya adalah merupakan tebusan dosa (kafarat), bahkan ditambah tiga hari
sesudahnya”. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke 160 dari surah
al-An’am sebagai dukungan dan membetulkan apa yang telah disabdakan Rasulullah
SAW. (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Thabrani dari Hisyam bin
Martsad dari Muhammad bin Isma’il dari ayahnya dari Dhamdham bin Zar’ah dari
Syuraih bin Ubaid dari abi Malik al-Asy’ari)[1]
Ayat
yang dimaksud yaitu :
160. Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka
baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa
perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan
kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
Ayat
ini menjelaskan bahwa pembalasan Allah SWT. sungguh adil, yakni barang siapa
diantara manusia yang datang membawa amal yang baik, yakni berdasar iman yang
benar dan ketulusan hati, maka baginya pahala sepuluh kali lipatnya yakni
sepuluh kali lipat amalnya sebagai karunia dari Allah SWT; dan barang siapa
yang membawa perbuatan yang buruk maka dia tidak diberi pembalasan melainkan
seimbang dengan kejahatannya, itu pun jikalau allah menjatuhkan sanksi atasnya,
tetapi tidak sedikit keburukan hamba yang dimaafkannya. Kalau allah menjatuhkan
sanksi, maka itu sangat adil, dan dengan demikian mereka yakni yang melakukan
kejahatan itu sedikitpun tidak dianiaya tetapi masing-masing akan memperoleh
hukuman setimpal dengan dosanya. Adapun yang berbuat kebajikan, maka bukan saja
mereka tidak dianiaya, bukan juga mereka diberi ganjaran yang adil, tetapi
mereka mendapat anugerah dari Allah SWT.[2]
Ayat
ini memerintahkan kita supaya memperbanyak berbuat baik. Artinya ialah barang
siapa yang dating kepada Allah di hari kiamat dengan sifat-sifat yang baik, maka
ia akan mendapat ganjaran atau pahala dari Allah SWT.
Dan
barang siapa yang nantinya menghadap Allah dengan sifat-sifat jahat yang telah
tertanam dalam dirinya, maka ganjaran siksaan yang akan diterimnya adalah
setimpal dengan kejahatannya. Artinya suatu kejahatan tidaklah akan dibalas
dengan sepuluh kali ganda siksaan. Maka ayat ini memberikan kejelasan benar
bagi kita bahwasanya sifat Rohman dan Rohim Allah lebih berpokok dari sifat
murkanya Allah SWT.
B. QS.
An-Nisa : 79
Orang-orang
munafik apabila dalam bertanam, mencari rezeki, berdagang dan dalam
berkeluargabaik dari sisi sanak kerabat maupun anak-anaknya mendapat kebaikan,
maka mereka mengatakan bahwa semua itu datang dari Allah SWT. Sebaliknya, kalau
mereka mendapat musibah, baik dalam mencari rezeki maupun dalam keluarga selalu
menyalah-nyalahkan Rasulullah SAW. Muhammad sebagai penyebab datangnya musibah.
Hal itu mereka lakukan karena dalam lahiriyahnya mereka cinta dan tunduk kepada
Rasulullah SAW. Tetapi dalam batinnya sangat benci terhadap ajaran yang dibawa
Rasulullah SAW. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ke-78 dan ke-79
dari surah an-Nisa sebagai ketegasan, bahwa semua itu datang dari Allah. Musibah
datang bukan karena mengikuti ajaran Muhammad, dan bukan pula Muhammad
penyebabnya. Tetapi atas kehendak Allah SWT, dimaksudkan sebagai ujian bagi
mereka. (HR. Abu Aliyah dari Suddi)[3]
Surah
an-Nisa ayat 79 yaitu :
79. Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari
Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu
sendiri. kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah
Allah menjadi saksi.
Ayat ini menegaskan sisi upaya manusia yang
berkaitan dengan sebab dan akibat. Hukum-hukum alam dan kemasyrakatan cukup
banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan dampak buruk untuk setiap gerak dan
tindakan telah ditetapkan Allah melalaui hukum-hukum tersebut, manusia diberi
kemampuan memilah dan memilih, dan masing-masing akan mendapatkan hasil
pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan larangan-Nya menghendaki, bahkan
menganjurkan kepada manusia agar meraih kebaikan dan nikmat-Nya, karena itu
ditegaskan-Nya bahwa, apa saja nikmat
yang engkau peroleh, wahai Muhammad dan semua manusia, adalah dari Allah, yakni Dia yang mewujudkan anugerah-Nya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau
wahai Muhammad dan siapa saja selain kamu, maka
bencana itu dari kesalahan dirimu sendiri, karena Kami mengutusmu tidak
lain hanya menjadi Rasul untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan Allah kepada
segenap manusia, kapan dan di mana pun mereka berada. Kami mengutusmu hanya
menjadi Rasul, bukan seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu
sehingga bukan karena terjadinya bencana atau keburukan pada masamu kemudian
dijadikan bukti bahwa engkau bukan Rasul. Kalaulah mereka menduga demikian,
biarkan saja. Dan cukuplah Allah menjadi
saksi atas kebenaranmu.
Ayat
diatas secara redaksional ditujukan kepada Rasulullah saw., tetapi kandungannya
terutama ditujukan kepada mereka yang menyatakan bahwa keburukan bersumber dari
Nabi atau karenakesialan yang menyertai beliau. Pengarahan redaksi ayat ini
kepada Nabi membuktikan bahwa kalau beliau yang sedemikian dekat dengan
kedudukannya di sisi Allah serta sedemikian kuat ketakwaannya kepada Allah
tetap tidak dapat luput dari sunnatullah dan takdir-Nya, maka tentu lebih-lebih
yang lain. Allah tidak membedakan seseorang dari yang lain dalaqm hal
sunnatullah ini.[4]
Setiap kebaikan yang diperoleh oleh orang
mukmin, sesungguhnya berasal dari karunia dan kemurahan Allah, di ayat ini ada
dua hal yang perlu diketahui :
Ø Bahwa
segala sesuatu yang berasal dari sisi Allah, dalam arti bahwa Dialah yang
menciptakan segala sesuatu dan menggariskan aturan-aturan.
Ø Manusia
terjerumus kedalam keburukan tidak lain disebabkan dia lalai untuk mengetahui
sunnah-sunnah. Sesuatu dikatakan buruk, sebenarnya disebabkan oleh tindakan
manusia itu sendiri.
Berdasarkan
pandangan ini, maka kebaikan berasal dari karunia Allah secara mutlak, dan
keburukan berasal dari diri manusia sendiri secara mutlak. Masing-masing dari
dua kemutlakan ini mempunyai posisi pembicaraan tersendiri. Telah banyak dasar
yang menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan salah satu sebab
mendapatkan nikmat, dan bahwa kedurhakaaan kepadanya merupakan salah satu jalan
yang mendatangkan kesengsaraan. Ketaatan kepadanya adalah mengikuti
sunnah-sunnah-Nya dan menggunakan jalan-jalan yang telah diberi-Nya pada tempat
mestinya.
“Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia”. Kewajiban Rasul hanyalah
menyampaikan ajaran Allah. Dia tidak mempunyai urusan dan campur dalam perkara
kebaikan dan keburukan yang menimpa manusia, karena beliau diutus menyampaikan
ajaran menyampaikan hidayah.
“Dan
cukuplah Allah menjadi saksi”. Sesungguhya rasul diutus kepada seluruh umat
manusia hanya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, bukan sebagai orang
yang berkuasa atau untuk mengubah dan mengganti aturan-aturan yang sudah
ditetapkan oleh Allah SWT.
C. QS.
Hud : 114
Imam
Tarmidzi dan lain-lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits melalui Abu Yusr
yang telah menceritakan, aku kedatangan seorang wanita yang mau membuli buah
korma. Lalu aku katakan kepadanya, bahwa di dalam rumah terdapat buah-buah
korma yang lebih baik daripada yang di luar. Kemudian wanita itu masuk kedalam
rumah bersamaku, dan (sesampainya di dalam rumah) aku peluk dia dan kuciumi.
Setelah peristiwa itu aku menghadap kepada Rasulullah dan menceritakan semua
kisah yang kualami itu kepadanya. Maka Nabi saw bersabda: “ Apakah engkau berani berbuat khianat seperti
itu terhadap istri seorang mujahid yang sedang berjuang di jalan Allah ?”. selanjutnya
Rasulullah menundukkan kepalanya dalam waktu yang cukup lama hingga Allah
menurunkan ayat ke 114 dari surah Hud.[5]
114. Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi
siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
Ayat
ini mengajarkan: “ dan dirikanlah shalat
dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan, rukun, syarat dan
sunnah-sunnahnya pada kedua tepi siang yakni
pagi dan petang, atau Subuh, Dzuhur dan Ashar dan pada bagian permulaan daripada malam yaitu Maghrib dan Isya,
dan juga bisa termasuk Witir dan Tahajud. Yang demikian itu dapat menyucikan
jiwa dan mengalahkan kecenderungan nafsu untuk berbuat kejahatan. Sesungguhnya kebajikan-kebajikan itu yakni
perbuatan-perbuatan baik seperti shalat, zakat, shadakah, istighfar, dan aneka
ketaatan lain dapat menghapuskan dosa
kecil yang merupakan keburukan-keburukan yakni
perbuatan-perbuatan buruk yang tidak mudah dihindari manusia. Adapun dosa
besar, maka itu membutuhkan ketulusan hati untuk bertaubat, permohonan ampun
secara khusus dan tekad untuk tidak mengulanginya. Iitu yakni petunjuk-petunjuk yang
disampaikan sebelum ini yang sungguh tinggi nilainya dan jauh kedudukannya itulah
peringatan yang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang siap menerimanya dan
yang ingat tidak melupakan Allah.
Disamping
mengandung makna bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang
telah mengerjakan amal-amal saleh, juga mengandung makna bahwa amal-amal saleh
yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan dapat membentengi
dirinya sehingga dengan mudah dia dapat terhindar dari keburukan-keburukan.
Makna semacam ini sejalan juga dengan firman Allah dalam surah al-Ankabut ayat
45, yang artinya “ sesungguhnya shalat
mencegah perbuatan keji dan munkar ".[6]
Dalam
tafsir at-Tabari dijelaskan bahwa ada beberapa faedah yang dikandung ayat ini
adalah penjelasan untuk mendirikan salat wajib. Ayat ini menjelaskan secara
ringkas semua waktu shalat yang wajib. Karena kedua tepi siang mencakup shalat
subuh, shalat dzuhur dan shalat ashar. Adapun bagian permulaan malam mencakup
shalat maghrib dan isya. Namun Imam Ath-Thabari lebih memilih pendapat bahwa
bahwa shalat pada kedua tepi siang itu maksudnya adalah shalat subuh dan
maghrib.
Ayat
ini menjelaskan bahwa shalat termasuk diantara al-hasanat (amal saleh). Ayat
ini juga menjelaskan bahwa al-Quran sebagai mau’izhan
(nasihat) bagi mereka yang mengingat-ingat. Orang-orang yang ingat disebut
secara khusus disini karena mereka yang mendapat manfaat dari nasihat itu.[7]
D. QS.
Al-An’am : 22
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim dari Dhahak dari Ibnu Abbas menceritakan bahwa ketika ayat ke-18 dari
surat al-Mujaadilah yang menegaskan tentang kehidupan di hari kiamat nanti
diturunkan, orang-orang munafik tidak bisa menerima kabar tersebut. Sehubungan
dengan itu Allah menurunkan ayat ke-22 – 25 sebagai ketegasan tentang keadaan
mereka. Mereka akan menerima akibat dari kedustaan mereka terhadap diri
sendiri, yaitu menganggap al-Quran hanya sebagai dongengan belaka.[8]
tPöqtur öNèdçà³øtwU $YèÏHsd
§NèO
ãAqà)tR
tûïÏ%©#Ï9 (#þqä.uõ°r& tûøïr& ãNä.ät!%x.uà°
tûïÏ%©!$# öNçFZä. tbqßJãã÷s?
ÇËËÈ
22. Dan (ingatlah), hari yang di waktu itu kami
menghimpun mereka semuanya Kemudian kami
Berkata kepada orang-orang musyrik: "Di manakah sembahan-sembahan kamu
yang dulu kamu katakan (sekutu-sekutu) kami?".
” Dan (ingatlah) hari yang di waktu itu Kami
menghimpun mereka semuanya. “ Firman Allah ini mengandung makna: dan
ingatlah hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka.
“
Kemudian Kami berkata kepada orang-orang
musyrik, ‘Di manakah sembahan-sembahan kamu’.” Pertanyaan ini merupakan
pertanyaan cemoohan, bukan pertanyaan untuk menuntut jawaban, ……” yang dulu kamu katakan (sekutu-sekutu) Kami
?” Yakni, bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan pertolongan
kepada kalian disisi Allah, sesuai dengan dugaan kalian, dan bahwqa mereka
dapat mendekatkan kalian kepada-Nya. Ini adalah celaan terhadap mereka. Ibnu
Abbas berkata, “ Setiap kata za’m (dugaan) di dalam al-Quran, maknanya adalah
kebohongan.”[9]
Kalaupun
di dunia ini mereka belum merasakan akibat penganiayaan itu, maka suatu ketika
pasti mereka akan menyesal, yakni pada hari kiamat nanti. Karena itu ingatlah,kebohongan mereka terhadap
Allah dalam kehidupan dunia ini, ingatlah itu pada hari yang di waktu itu kami
menghimpun mereka semua secara paksa dan dalam keadaan hina dina, baik ahl
al-kitab, maupun kaum musyrik serta apa yang mereka sekutukan dengan Allah,
seperti berhala-berhala kemudian Kami melalui
para malaikat berkata kepada orang-orang
musyrik yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu, baik berhala, manusia,
maupun cahaya atau gelap, bahkan sembahan apa saja : Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dahulu kamu kira dan akui
secara lisan dan pengalaman sebagai sekutu
Kami ? Mintalah kepada mereka agar membantu dan menyelamatkan kamu dari
siksa yang sedang dan akan kamu hadapi. Sungguh aneh sikap mereka ketika itu
lagi jauh dari yang dapat dibayangkan, sebagaimana dipahami dari kata kemudian.
Ayat
ini dapat juga dihubungkan dengan ayat terdahulu dengan menjadikan ayat ini
sebagai jawaban dari satu pertanyaan yang timbul dalam benak siapa yang
mendengar ayat terdahulu yang menyatakan bahwa tidak akan berbahagia orang-orang yang zalim. Seakan-akan ada yang
bertanya. Bagaimana mereka tidak akan berbahagia ? pertanyaan ini dijawab : itu
disebabkan karena kelak di Hari Kemudian Allah akan menggiring mereka ke Padang
Mahsyar dan akan meminta pertanggung jawaban atas dosa-dosa mereka, khususnya
menyangkut persekutuan terhadap Allah.
Seperti
terbaca diatas, kata Jamii’an/semua mencakup
penyembah dan yang disembah selain Allah. Itu sebabnya lanjutan ayat menyatakan
kemudian Kami berkata kepada orang-orang
musyrik, bukan menyatakan kami
berkata kepada mereka. Dihimpunnya para sembahan itu, untuk lebih menampakkan
kehinaan dan kerendahan serta ketidak berdayaan mereka, dan untuk membuktikan
bahwa walau sembahan-sembahan itu hadir dihadapan mereka, namun mereka
sedikitpun tidak dapat membantu, bahkan mereka akan berlepas diri dari apa yang
dilakukan sembahan-sembahan itu demikian juga para penyembahnya.
Kata
Tsumma/kemudian pada firman-Nya kemudian kami berkata pada orang-orang
musyrik untuk mengisyaratkan jarak waktu penantian yang cukup lama antara
keberadaan orang-orang musyrik dan sembahan mereka di padang mahsyar, dengan
perkataan/pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Jarak waktu penantian itu,
menjadikan mereka lebih gelisah, sekaligus menunjukkan betapa mereka tidak
diperhatikan bahkan diabaikan begitu lama, untuk lebih menghina dan melecehkan
mereka.
Kata
Aina/di mana, digunakan untuk
menanyakan tempat sesuatu, sebagaimana digunakan juga untuk menanyakan sesuatu
walau tidak memiliki tempat, tetapi diharapkan apa yang ditanyakan itu menjadi
perhatian atau dikerjakan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sembahan-sembahan
mereka ikut dikumpulkan di padang mahsyar. Jika demikian, pertanyyan tentang di
mana pada ayat ini, bukanlah pertanyaan tempat keberadaan mereka, tetapi
tentang peranan mereka dalam membantu para penyembahnya. Pertanyyan itu
dimaksudkan sebagai kecaman dan ejekan karena ketika itu sungguh jelas
ketidakmampuan yang disembah menolong siapa yang pernah menyembahnya.[10]
E. QS.
Al-Hijr : 39-40
39. Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab
Engkau Telah memutuskan bahwa Aku sesat, pasti Aku akan menjadikan mereka
memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti Aku akan menyesatkan
mereka semuanya,
40. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka".
setelah
Allah menyampaikan bahwa Iblis akan termasuk mereka yang ditangguhkan hidupnya
hingga waktu tertentu, Iblis berkata, “Tuhanku, disebabkan oleh penyesatan-Mu
terhadap diriku yakni kutukan-Mu terhadapku hingga hari kemudian, maka pasti
aku akan memperindah bagi mereka yakni menjadikan mereka memandang baik
perbuatan maksiat serta segala macam aktivitas di muka bumi yang mengalihkan
mereka dari pengabdian kepada-Mu, dan pasti pula dengan demikian aku akan dapat
menyesatkan mereka semuanya dari jalan lurus menuju kebahagiaan duniawi dan
ukhrawi. Upaya tersebut akan menyentuh semua manusia, kecuali hamba-hamba-Mu
yang mukhlas diantara mereka, yakni yang engkau pilih karena mereka telah
menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Mu.[11]
Allah
berfirman memberi tahu bahwa iblis berkata kepadanya, “Ya Tuhanku, dikarenakan
engkau telah menakdirkan aku tersesat, maka pasti aku akan menyesatkan anak
cucu adam dengan membujuk mereka memandang baik segala perbuatan maksiat dan
mendorong mereka dengan segala tipu daya agar mereka menjauhi segala perintahmu
dan pasti aku akan berhasil dalam usaha penyesatanku ini kecuali terhadap
beberapa hamba-hamba-Mu yang memperoleh taufik dan hidayah untuk menaati segala
petunjuk dan perintahmu.[12]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Surat al-An’am
ayat 160
Pada
ayat ini dapat disimpulkan bahwa Allah benar-benar maha adil, dimana Allah akan
selalu memberikan karunia-Nya kepada umatnya yang beribadah dengan dasar
keimanan dan ketulusan hati dengan memberikan ganjaran pahala sepuluh kali
lipat dari amal saleh yang telah dikerjakan, serta hanya memberikan ganjaran
yang sesuai dengan maksiat yang dikerjakakdikerjakan manusia.
2. Surat
an-Nisa ayat 79
Pada
ayat ini Allah menegaskan bahwa segala sesuatu kebaikan yang menimpa umat
manusia adalah secara mutlak dating dari Allah dan segala sesuatu yang buruk
yang menimpa manusia semata-mata karena perbuatan manusia itu sendiri.
3. Surat
Hud ayat 114
Pada
ayat ini dijelaskan bahwa segala amal saleh khususnya yang terdapat dalam ayat
ini yaitu shalat wajib yang lima waktu dapat menghapus dosa-dosa kecil, dan
apabila amal saleh yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan
dapat membentengi dirinya sehingga dengan mudah dia dapat terhindar dari
keburukan-keburukan.
4. Surat
al-An’am ayat 22
Pada
ayat ini Allah akan menunjukkan bahwa Tuhan yang patut disembah hanyalah Allah
semata kepada orang-orang yang telah menyekutukannya, dan juga membuktikan
bahwa apa yang dulu mereka sembah tidak akan bisa menolong mereka dari siksa
Allah SWT.
5. Surat
al-Hijr ayat 39-40
Pada
ayat ini disinggung bahwasanya manusia itu mempunyai dua poitensi, yaitu
potensi baik dan potensi keburukan. Iblis berusaha ingin memuncukan potensi
keburukan yang ada pada diri manusia agar manusia selalu berada di jalan
kemaksiatan, terkecuali manusia yang mampu menimbulkan potensi baiknya agar
terhindar dari segala macam tipu daya Iblis.
[1]
A. Mudjab Mahali, ASBABUN NUZUL: Studi
Pendalaman al-Quran surat al-Baqarah – an-Nas, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada Persada,2002, hlm. 391-392
[2]M.Quraish
Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan
keserasian al-Quran, Volume-4,Jakarta: Lentera hati, 2003,hlm.352
[3]A.Mudjab
Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman
al-Quran, surah al-Baqarah – an-Nas,Jakarta:PT Radja Grafindo
Persada,2002,hlm. 248
[4]
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah
pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-2,Jakarta: Lentera hati, 2000,hlm.497
[5]
Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Suyuthi, tafsir jalaludin berikut asbabun nuzul jilid 2,bandung: sinar baru
al-gensindo,2004,hlm.943
[6]
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah
pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-6,Jakarta: Lentera hati,
2002,hlm.355-357
[7]
Kementrian agama RI, syaamil. Al-Quran
miracle the reference, saygma publishing, Bandung: 2010,hlm.466
[8]
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah
pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-2,Jakarta: Lentera hati,
2000,hlm.362
[9][9]
Syaikh Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi,
Jakarta; Pustaka Azzam,2008.
[10]
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah
pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-4,Jakarta: Lentera hati,
2003,hlm.51-53
[11]
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah
pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-7,Jakarta: Lentera hati,
2002,hlm.128-129
[12]
PT. Bima Ilmu, Terjemah Singkat Tafsir
Ibnu Katsier, Surabaya: PT Bima Ilmu Offset,2003,hlm.519-520
Asalamu'alaikum.
BalasHapussangat bermanfaat postingannya,,
izin copas yaa,, :)