Makalah Hadist Tarbawi tentang Shadaqoh





HADITS TENTANG SHADAQOH

Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hadits Tarbawi










Di Susun Oleh.



Ahmad Malik Amrullah




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
JURUSAN TARBIYAH PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
1432 H / 2011 M


SHADAQAH


A.      Semua amal kebaikan adalah shadaqah (LM: 589).
1.      Hadits.

حَدِيْثُ أَبِى مُوْسَى، قَالَ: قَالَ النَّبِيِّ ص.م.: ((عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ)) قَالُوْا: فَإِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: ((فَيَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ)) قَالُوا: فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَوْ لَمْ يَفْعَلْ؟ قَالَ: ((فَيُعِيْنُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوْف)) قَالُوْا: فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ؟ قَالَ: ((فَيَأْمُرُ بِالْخَيْرِ)) أَوْ قَالَ: ((بِالْمَعْرُوْفِ )) قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ؟ قَالَ: فَيُمْسِكُ عَنِ الشِّرِّ فَإِنَّهُ لَهُ صَدَقَةٌ)).
2.      Terjemah.
       Artinya:
Abu Musa ra. Berkata: Nabi Saw. Bersabda: Tiap Muslim wajib bersedekah. Sahabat bertanya: Jika tidak lapar? Jawab Nabi Saw.: Bekerja dengan tangannya yang berguna bagi diri den bersedekah. Sahabat Tanya pula: Jika tidak dapat? Jawab Nabi Saw.: Membantu (menolong) orang yang sangat berhajat. Sahabat bertanya: Jika tidak dapat? Jawab Nabi Saw.: Menahan diri dari kejahatan maka itu sedekah untuk dirinya sendiri. (Bukhari, Muslim).
3.              Kosakata.
a.         Hajat                      =   اْلحَاجَةِ
b.        Shodaqoh               =   صَدَقَةٌ
c.         Menahan diri          =   فَيَمْسِكُ
d.        Kejahatan               =   الشَّرَّ
4.      Penjelasan.
Sabda Nabi Muhammad SAW:   فَيَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ bekerja dengan tangannya, pekerjaan apa saja yang bisa dikerjakannya seperti : kerajinan tangan, dagang, dll.
  نَفْسَهُ Bisa membiayai diri sendiri dan orang yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga tidak meminta-minat kepada orang lain.
 وَيَتَصَدَّقُ Dan bersedekah sehingga bermanfaat bagi orang lain, dan berpahala.
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ ، أَوْ لَمْ يَفْعَلْ    Jika tidak mampu melakukannya, atau tidak mengerjakannya karena malas. Ada keraguan perawi.
Jawab Nabi:
فَيْمِيْنُ  maka membantu dengan ucapan atau perbuatan, atau kedua-duanya.
ذَا اَلْحَاجَةِ الْمَلْهُوْفَ  Orang yang memerlukan, teraniaya, meminta pertolongan, berduka, atau dalam kesulitan.
Jawab Nabi: فَيَأْمُرُ بِالْخَيْرِ أَوْ قَالَ بِالْمَعْرُوْفِ menyuruh yang baik atau yang ma’ruf, perawi hadits ini ragu.
              Ar Rhaghib berkata: Al Ma’ruf adalah nama untuk semua perbuatan yang dikenal baik menurut syariah maupun akal sehat. Maka semua yang ma’ruf adalah baik.
قَالَ  Berkata salah seorang sahabat yang ada ketika Rasulullah menyampaikan hal ini.  Jika tidak mampu? Jawab Nabi: فَيُمْسِكُ عَنِ الشَّر َّفَإِنَّهُ لَهُ صَدَقَةٌ ” Hendaklah ia menahan diri dari perbuatan buruk. Karena sikap ini adalah sedekah baginya.
              Dari hadits ini dapat diambil pelajaran anjuran bersedekah dengan harta, sebagaimana anjuran bekerja dan berusaha agar mendapatkan nafkah untuk dirinya, dapat bersedekah kepada orang lain, menjaga kehormatan diri dari meminta-minta.
              Dari hadits ini dapat pula diambil pelajaran anjuran berbuat kebaikan semaksimal mungkin. Dan bahwa seseorang yang telah berniat melakukan kebaikan kemudian mengalami kesulitan hendaklah berpindah kepada kebaikan lainnya. Karena semua perbuatan baik adalah ma’ruf, dan semua yang ma’ruf adalah sedekah.

B.       Membelenjai keluarga termasuk shadaqah (LM: 586).
1.              Hadits.

حَدِيْثُ أَبِى مَسْعُوْدٍ اْلْأَنْصَارِيِّ، عَنِ النَّبِيِّ ص.م. قَالَ: ((إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ، وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً)).

2.              Terjemah.
       Artinya:
Abu Mas’uud Al-Anshari ra. Berkata: Nabi Saw. bersabda: Seorang Muslim jika membelanjai keluarganya dengan ikhlas mengharap pahala, maka itu sama dengan sedekah, atau dianggap baginya sebagai sedekah. (Bukhari, Muslim).
3.      Kosakata.
a.       Membelanjai                             =  نَفَقَةً
b.      Keluarganya                             =  أَهْلِهِ
c.       Ikhlas mengharap pahala         =  يَحْـتَسْبُهَا
d.      Dianggap                                  =  كَانَتْ
e.       Sedekah                                    =  صَدَقَةً
4.      Penjelasan.
        Memang secara prinsip fitrah, kewajiban memberikan nafkah merupakan tanggung jawab suami sehingga wajib bekerja dengan baik melalui usaha yang halal dan wanita sebagai kaum istri bertanggung jawab mengelola dan merawat aset keluarga. Allah SWT berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka…” (QS. An-Nisa:34). Dengan demikian, posisi kepala rumah tangga bagi suami paralel dengan konsekuensi memberi nafkah dan komitmen perawatan keluarganya secara lazim.
        Oleh karena itu Nabi secara proporsional telah mendudukkan posisi masing-masing bagi suami istri dalam sabdanya: “Setiap kalian adalah pengayom dan setiap pengayom akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang harus diayominya. Suami adalah pengayom bagi keluarganya dan bertanggung jawab atas anggota keluarga yang diayominya. Istri adalah pengayom bagi rumah tangga rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya…” (HR. Bukhari) Ketika Rasulullah saw menikahkan putrinya, Fatimah dengan Ali RA beliau berwasiat kepada menantunya: “Engkau berkewajiban bekerja dan berusaha sedangkan ia berkewajiban mengurus (memenej) rumah tangga.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
        Jadi, sharing suami-istri dalam aspek keuangan keluarga adalah dalam bentuk tanggung jawab suami untuk mencari nafkah halal dan tanggung jawab istri untuk mengurus, mengelola, merawat dan memenej keuangan rumah tangga. Meskipun demikian, bukan berarti suami tidak boleh memberikan bantuan dalam pengelolaan aset dan keuangan rumah tangganya bila istri kurang mampu atau memerlukan bantuan. Dan juga sebaliknya tidak ada larangan Syariah bagi istri untuk membantu suami terlebih ketika kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara yang halal dan baik serta tidak membahayakan keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga selama suami mengizinkan, bahkan hal itu akan bernilai kebajikan bagi sang istri. Bukankah Khadijah RA. ikut andil dalam membantu mencukupi kebutuhan keluarga Nabi saw. sebagai bentuk ukhuwah dan tolong menolong dalam kebajikan. (QS.Al-Maidah:2)
C.      Shadaqah yang Utama (LM: 611).
1.     Hadits.
حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ ر.ض.، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ص.م.، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَيُّ الصَّدَقَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: ((أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيْحٌ شَحِيْحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَ تَأْمُلُ الْغِنَى، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُوْمَ، قُلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا، وَلِفُلاَنٍ كَذَا، وَقَدْكَانَ لِفُلاَنٍ)).
2.     Terjemah.
       Artinya:
Abu Hurairah ra. Berkata: Seorang datang bertanya kepada Nabi Saw. Ya Rasulullah sedekah yang manakah yang terbesar pahalanya? Jawab Nabi Saw.: Anda bersedekah dalam keadaan sehat, bakhil takut miskin dan mengharap kaya, dan jangan menunda sehingga apabila ruh (nyawa) telah sampai di tenggorokan (akan mati) lalu berkata: Untuk fulan sekian, untuk Fulan sekian, padahal kekayaan di waktu itu sudah pindah ke tangan ahli waris. (Bukhari, Muslim).
3.     Kosakata.
a.         Sedekah                   =   الصَّدَقَةِ
b.        Terbesar                    =   أَعْظَمُ
c.         Pahalanya                 =   أَجْرًا
d.        Keadaan sehat          =   صَحِيْحُ
4.     Penjelasan.
          Pada satu kesempatan, Rasulullah SAW ditanya seseorang sahabatnya tentang sedekah yang paling utama. Kata beliau, ”Engkau menyedekahkan harta itu pada saat engkau dalam keadaan sehat dan di kala engkau benar?benar menginginkan harta tersebut saat itu.” (HR Abu Dawud).
          Dalam Alquran, Allah SWT juga berfirman, ”Engkau tak akan mendapatkan kebaikan apa pun hingga kalian menyedekahkan sebagian harta yang paling kalian cintai. Ketahuilah, apa pun yang kalian infakkan, Allah pasti mengetahuinya.” (QS. Ali ‘Imran: 92). Setiap manusia memiliki kecenderungan mencintai harta benda.
          Karena cinta inilah, mereka lalu berusaha mempertahankannya selama mungkin, bahkan kalau perlu, berusaha menambahnya terus?menerus. Namun, mencintai harta tidak selamanya dapat membuat orang bahagia. Tak jarang, harta justru membuatnya tidak tenang dan resah. Karena itulah, sedekah yang Nabi SAW anjurkan sebetulnya, selain untuk mendapatkan pahala di sisi Allah SWT, juga untuk membuat manusia itu tenang dan tenteram.
                      Kondisi sehat dan cinta terhadap harta, bisa menjadi penghambat seseorang untuk mengeluarkan sedekahnya. Padahal, menurut Nabi SAW justru pada saat?saat itulah, sedekah memiliki nilai yang utama di sisi Allah SWT. Pertama, kondisi sehat pada hakikatnya adalah nikmat dan karunia yang Allah SWT berikan kepada manusia.
          Karena itu, manusia mesti mensyukurinya dalam bentuk amaliah bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Seorang yang mensyukuri karunia sehat, akan menyadari kondisi sehat itu sebetulnya adalah kesempatan untuk berbuat baik.
                      Kedua, karunia sehat juga sekaligus menjadi ujian berat manusia. Karena terkadang, dalam keadaan ini, manusia sering lalai berbuat kebaikan. Sedekah pada saat? saat ini terasa begitu berat, karena selain keinginan untuk menikmatinya di kala sehat, ada keinginan kuat agar harta itu jangan dulu diberikan kepada orang lain. Dalam arti lain, menunda hingga waktu tertentu.
                      Padahal, salah satu akhlak mulia Nabi SAW dalam masalah sedekah adalah mempercepat dalam memberikan sedekah itu. Pernah suatu ketika, Nabi SAW mempercepat shalatnya hingga membuat para sahabatnya bertanya?tanya. Setelah ditanya, beliau menjawab, ”Ketika shalat, aku teringat ada harta bendaku yang belum aku sedekahkan.” (HR Bukhari).
                      Harta bukan untuk ditumpuk, kemudian dinikmati sendiri. Ada kewajiban yang mesti dilakukan terhadap harta itu, agar harta yang diberikan Allah tidak sia?sia. Yakni, bisa menjadi bekal hidup, baik dunia maupun di akhirat. Keseimbangan dalam mengelola harta itulah yang ditekankan Rasulullah SAW.
          Harta memang miliknya, tapi di dalamnya juga ada milik orang lain yang mesti diberikan. Inilah yang terkadang berat dilakukan, karena menganggap harta benda yang dimiliki adalah hasil kerja keras yang harus dinikmati sendiri. Padahal, dalam harta seseorang sejatinya ada campur tangan dari Allah SWT. Karena itu, harta mesti dikelola sesuai dengan petunjuk Allah juga.




KESIMPULAN


§   Anjuran bersedekah dengan harta, sebagaimana anjuran bekerja dan berusaha agar mendapatkan nafkah untuk dirinya, dapat bersedekah kepada orang lain, menjaga kehormatan diri dari meminta-minta.
§   Anjuran berbuat kebaikan semaksimal mungkin. Dan bahwa seseorang yang telah berniat melakukan kebaikan kemudian mengalami kesulitan hendaklah berpindah kepada kebaikan lainnya. Karena semua perbuatan baik adalah ma’ruf, dan semua yang ma’ruf adalah sedekah.
§   Sharing suami-istri dalam aspek keuangan keluarga adalah dalam bentuk tanggung jawab suami untuk mencari nafkah halal dan tanggung jawab istri untuk mengurus, mengelola, merawat dan memenej keuangan rumah tangga. Meskipun demikian, bukan berarti suami tidak boleh memberikan bantuan dalam pengelolaan aset dan keuangan rumah tangganya bila istri kurang mampu atau memerlukan bantuan.
§   Kondisi sehat dan cinta terhadap harta, bisa menjadi penghambat seseorang untuk mengeluarkan sedekahnya. Padahal, menurut Nabi SAW justru pada saat?saat itulah, sedekah memiliki nilai yang utama di sisi Allah SWT. Pertama, kondisi sehat pada hakikatnya adalah nikmat dan karunia yang Allah SWT berikan kepada manusia.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Baqi, Muhammad Fuad, Al-Lu’lu’ w al marjan 1, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003

________________________, Al-Lu’lu’ w al marjan 2, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003

Ahmad Atha, Abdul Qadir, Adabun Nabi, Mendalami akhlak Rasulullah, Jakarta: Pustaka Ilmu, 1999

Tim Al-manar, Panduan Syar’i Menuju Rumah Tangga  Islami, Bandung: PT Syamil Cipta Media. 2003


 

MAKALAH TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG KEBAIKAN DAN KEJAHATAN



BAB I
PENDAHULUAN

Al-Quran merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Quran merupakan pegangan hidup umat manusia, karena Al-Quran mengandung segala sumber hukum, ilmu penetahuan, serta berisi tentan tata cara kehidupan kita dalam keseharian.
Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan tentang masalah dua hal yang berlawanan tetapi satu sama lain diantara keduanya tidak dapat dipisahkan yaitu masalah kebaikan dan kejahatan, diantaranya adalah surah al-an’am ayat 160 dan 22, an-Nisa ayat 79, Hud ayat 114 serta surah al-Hijr ayat 39-40.



BAB II
TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG KEBAIKAN DAN KEJAHATAN

A.    QS. Al-An’am : 160
Pada suatu waktu Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barang siapa berpuasa tiga hari pada tanggal purnama di setiap bulan, berarti dia telah berpuasa setahun penuh”.  Pada suatu ketika yang lain rasulullah SAW juga pernah bersabda: “Shalat Jum’at sampai dengan Jum’at berikutnya adalah merupakan tebusan dosa (kafarat), bahkan ditambah tiga hari sesudahnya”. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke 160 dari surah al-An’am sebagai dukungan dan membetulkan apa yang telah disabdakan Rasulullah SAW. (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Thabrani dari Hisyam bin Martsad dari Muhammad bin Isma’il dari ayahnya dari Dhamdham bin Zar’ah dari Syuraih bin Ubaid dari abi Malik al-Asy’ari)[1]
Ayat yang dimaksud yaitu :


160.  Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

Ayat ini menjelaskan bahwa pembalasan Allah SWT. sungguh adil, yakni barang siapa diantara manusia yang datang membawa amal yang baik, yakni berdasar iman yang benar dan ketulusan hati, maka baginya pahala sepuluh kali lipatnya yakni sepuluh kali lipat amalnya sebagai karunia dari Allah SWT; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang buruk maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, itu pun jikalau allah menjatuhkan sanksi atasnya, tetapi tidak sedikit keburukan hamba yang dimaafkannya. Kalau allah menjatuhkan sanksi, maka itu sangat adil, dan dengan demikian mereka yakni yang melakukan kejahatan itu sedikitpun tidak dianiaya tetapi masing-masing akan memperoleh hukuman setimpal dengan dosanya. Adapun yang berbuat kebajikan, maka bukan saja mereka tidak dianiaya, bukan juga mereka diberi ganjaran yang adil, tetapi mereka mendapat anugerah dari Allah SWT.[2]
Ayat ini memerintahkan kita supaya memperbanyak berbuat baik. Artinya ialah barang siapa yang dating kepada Allah di hari kiamat dengan sifat-sifat yang baik, maka ia akan mendapat ganjaran atau pahala dari Allah SWT.
Dan barang siapa yang nantinya menghadap Allah dengan sifat-sifat jahat yang telah tertanam dalam dirinya, maka ganjaran siksaan yang akan diterimnya adalah setimpal dengan kejahatannya. Artinya suatu kejahatan tidaklah akan dibalas dengan sepuluh kali ganda siksaan. Maka ayat ini memberikan kejelasan benar bagi kita bahwasanya sifat Rohman dan Rohim Allah lebih berpokok dari sifat murkanya Allah SWT.
B.     QS. An-Nisa : 79
Orang-orang munafik apabila dalam bertanam, mencari rezeki, berdagang dan dalam berkeluargabaik dari sisi sanak kerabat maupun anak-anaknya mendapat kebaikan, maka mereka mengatakan bahwa semua itu datang dari Allah SWT. Sebaliknya, kalau mereka mendapat musibah, baik dalam mencari rezeki maupun dalam keluarga selalu menyalah-nyalahkan Rasulullah SAW. Muhammad sebagai penyebab datangnya musibah. Hal itu mereka lakukan karena dalam lahiriyahnya mereka cinta dan tunduk kepada Rasulullah SAW. Tetapi dalam batinnya sangat benci terhadap ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ke-78 dan ke-79 dari surah an-Nisa sebagai ketegasan, bahwa semua itu datang dari Allah. Musibah datang bukan karena mengikuti ajaran Muhammad, dan bukan pula Muhammad penyebabnya. Tetapi atas kehendak Allah SWT, dimaksudkan sebagai ujian bagi mereka. (HR. Abu Aliyah dari Suddi)[3]

Surah an-Nisa ayat 79 yaitu :
79.  Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.

 Ayat ini menegaskan sisi upaya manusia yang berkaitan dengan sebab dan akibat. Hukum-hukum alam dan kemasyrakatan cukup banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan dampak buruk untuk setiap gerak dan tindakan telah ditetapkan Allah melalaui hukum-hukum tersebut, manusia diberi kemampuan memilah dan memilih, dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan larangan-Nya menghendaki, bahkan menganjurkan kepada manusia agar meraih kebaikan dan nikmat-Nya, karena itu ditegaskan-Nya bahwa, apa saja nikmat yang engkau peroleh, wahai Muhammad dan semua manusia, adalah dari Allah, yakni Dia yang mewujudkan anugerah-Nya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau wahai Muhammad dan siapa saja selain kamu, maka bencana itu dari kesalahan dirimu sendiri, karena Kami mengutusmu tidak lain hanya menjadi Rasul untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan Allah kepada segenap manusia, kapan dan di mana pun mereka berada. Kami mengutusmu hanya menjadi Rasul, bukan seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu sehingga bukan karena terjadinya bencana atau keburukan pada masamu kemudian dijadikan bukti bahwa engkau bukan Rasul. Kalaulah mereka menduga demikian, biarkan saja. Dan cukuplah Allah menjadi saksi atas kebenaranmu.
Ayat diatas secara redaksional ditujukan kepada Rasulullah saw., tetapi kandungannya terutama ditujukan kepada mereka yang menyatakan bahwa keburukan bersumber dari Nabi atau karenakesialan yang menyertai beliau. Pengarahan redaksi ayat ini kepada Nabi membuktikan bahwa kalau beliau yang sedemikian dekat dengan kedudukannya di sisi Allah serta sedemikian kuat ketakwaannya kepada Allah tetap tidak dapat luput dari sunnatullah dan takdir-Nya, maka tentu lebih-lebih yang lain. Allah tidak membedakan seseorang dari yang lain dalaqm hal sunnatullah ini.[4]
 Setiap kebaikan yang diperoleh oleh orang mukmin, sesungguhnya berasal dari karunia dan kemurahan Allah, di ayat ini ada dua hal yang perlu diketahui :
Ø  Bahwa segala sesuatu yang berasal dari sisi Allah, dalam arti bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menggariskan aturan-aturan.
Ø  Manusia terjerumus kedalam keburukan tidak lain disebabkan dia lalai untuk mengetahui sunnah-sunnah. Sesuatu dikatakan buruk, sebenarnya disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri.
Berdasarkan pandangan ini, maka kebaikan berasal dari karunia Allah secara mutlak, dan keburukan berasal dari diri manusia sendiri secara mutlak. Masing-masing dari dua kemutlakan ini mempunyai posisi pembicaraan tersendiri. Telah banyak dasar yang menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan salah satu sebab mendapatkan nikmat, dan bahwa kedurhakaaan kepadanya merupakan salah satu jalan yang mendatangkan kesengsaraan. Ketaatan kepadanya adalah mengikuti sunnah-sunnah-Nya dan menggunakan jalan-jalan yang telah diberi-Nya pada tempat mestinya.
“Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia”. Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan ajaran Allah. Dia tidak mempunyai urusan dan campur dalam perkara kebaikan dan keburukan yang menimpa manusia, karena beliau diutus menyampaikan ajaran menyampaikan hidayah.
“Dan cukuplah Allah menjadi saksi”. Sesungguhya rasul diutus kepada seluruh umat manusia hanya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, bukan sebagai orang yang berkuasa atau untuk mengubah dan mengganti aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT.
 
C.     QS. Hud : 114
Imam Tarmidzi dan lain-lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits melalui Abu Yusr yang telah menceritakan, aku kedatangan seorang wanita yang mau membuli buah korma. Lalu aku katakan kepadanya, bahwa di dalam rumah terdapat buah-buah korma yang lebih baik daripada yang di luar. Kemudian wanita itu masuk kedalam rumah bersamaku, dan (sesampainya di dalam rumah) aku peluk dia dan kuciumi. Setelah peristiwa itu aku menghadap kepada Rasulullah dan menceritakan semua kisah yang kualami itu kepadanya. Maka Nabi saw bersabda: “ Apakah engkau berani berbuat khianat seperti itu terhadap istri seorang mujahid yang sedang berjuang di jalan Allah ?”. selanjutnya Rasulullah menundukkan kepalanya dalam waktu yang cukup lama hingga Allah menurunkan ayat ke 114 dari surah Hud.[5]
114.  Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.

Ayat ini mengajarkan: “ dan dirikanlah shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan, rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya pada kedua tepi siang yakni pagi dan petang, atau Subuh, Dzuhur dan Ashar dan pada bagian permulaan daripada malam yaitu Maghrib dan Isya, dan juga bisa termasuk Witir dan Tahajud. Yang demikian itu dapat menyucikan jiwa dan mengalahkan kecenderungan nafsu untuk berbuat kejahatan. Sesungguhnya kebajikan-kebajikan itu yakni perbuatan-perbuatan baik seperti shalat, zakat, shadakah, istighfar, dan aneka ketaatan lain dapat menghapuskan dosa kecil yang merupakan keburukan-keburukan yakni perbuatan-perbuatan buruk yang tidak mudah dihindari manusia. Adapun dosa besar, maka itu membutuhkan ketulusan hati untuk bertaubat, permohonan ampun secara khusus dan tekad untuk tidak mengulanginya. Iitu yakni petunjuk-petunjuk yang disampaikan sebelum ini yang sungguh tinggi nilainya dan jauh kedudukannya itulah peringatan yang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang siap menerimanya dan yang ingat tidak melupakan Allah.
Disamping mengandung makna bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang telah mengerjakan amal-amal saleh, juga mengandung makna bahwa amal-amal saleh yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan dapat membentengi dirinya sehingga dengan mudah dia dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Makna semacam ini sejalan juga dengan firman Allah dalam surah al-Ankabut ayat 45, yang artinya “ sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar ".[6]
Dalam tafsir at-Tabari dijelaskan bahwa ada beberapa faedah yang dikandung ayat ini adalah penjelasan untuk mendirikan salat wajib. Ayat ini menjelaskan secara ringkas semua waktu shalat yang wajib. Karena kedua tepi siang mencakup shalat subuh, shalat dzuhur dan shalat ashar. Adapun bagian permulaan malam mencakup shalat maghrib dan isya. Namun Imam Ath-Thabari lebih memilih pendapat bahwa bahwa shalat pada kedua tepi siang itu maksudnya adalah shalat subuh dan maghrib.
Ayat ini menjelaskan bahwa shalat termasuk diantara al-hasanat (amal  saleh). Ayat ini juga menjelaskan bahwa al-Quran sebagai mau’izhan (nasihat) bagi mereka yang mengingat-ingat. Orang-orang yang ingat disebut secara khusus disini karena mereka yang mendapat manfaat dari nasihat itu.[7]
D.    QS. Al-An’am : 22
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Dhahak dari Ibnu Abbas menceritakan bahwa ketika ayat ke-18 dari surat al-Mujaadilah yang menegaskan tentang kehidupan di hari kiamat nanti diturunkan, orang-orang munafik tidak bisa menerima kabar tersebut. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ke-22 – 25 sebagai ketegasan tentang keadaan mereka. Mereka akan menerima akibat dari kedustaan mereka terhadap diri sendiri, yaitu menganggap al-Quran hanya sebagai dongengan belaka.[8]
tPöqtƒur öNèdçŽà³øtwU $YèŠÏHsd §NèO ãAqà)tR tûïÏ%©#Ï9 (#þqä.uŽõ°r& tûøïr& ãNä.ät!%x.uŽà° tûïÏ%©!$# öNçFZä. tbqßJãã÷s? ÇËËÈ
22.  Dan (ingatlah), hari yang di waktu itu kami menghimpun mereka semuanya  Kemudian kami Berkata kepada orang-orang musyrik: "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dulu kamu katakan (sekutu-sekutu) kami?".
Dan (ingatlah) hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka semuanya. “ Firman Allah ini mengandung makna: dan ingatlah hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka.
Kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik, ‘Di manakah sembahan-sembahan kamu’.” Pertanyaan ini merupakan pertanyaan cemoohan, bukan pertanyaan untuk menuntut jawaban, ……” yang dulu kamu katakan (sekutu-sekutu) Kami ?” Yakni, bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan pertolongan kepada kalian disisi Allah, sesuai dengan dugaan kalian, dan bahwqa mereka dapat mendekatkan kalian kepada-Nya. Ini adalah celaan terhadap mereka. Ibnu Abbas berkata, “ Setiap kata za’m (dugaan) di dalam al-Quran, maknanya adalah kebohongan.”[9]
Kalaupun di dunia ini mereka belum merasakan akibat penganiayaan itu, maka suatu ketika pasti mereka akan menyesal, yakni pada hari kiamat nanti. Karena itu ingatlah,kebohongan mereka terhadap Allah dalam kehidupan dunia ini, ingatlah itu pada hari yang di waktu itu kami menghimpun mereka semua secara paksa dan dalam keadaan hina dina, baik ahl al-kitab, maupun kaum musyrik serta apa yang mereka sekutukan dengan Allah, seperti berhala-berhala kemudian Kami melalui para malaikat berkata kepada orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu, baik berhala, manusia, maupun cahaya atau gelap, bahkan sembahan apa saja : Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dahulu kamu kira dan akui secara lisan dan pengalaman sebagai sekutu Kami ? Mintalah kepada mereka agar membantu dan menyelamatkan kamu dari siksa yang sedang dan akan kamu hadapi. Sungguh aneh sikap mereka ketika itu lagi jauh dari yang dapat dibayangkan, sebagaimana dipahami dari kata kemudian.
Ayat ini dapat juga dihubungkan dengan ayat terdahulu dengan menjadikan ayat ini sebagai jawaban dari satu pertanyaan yang timbul dalam benak siapa yang mendengar ayat terdahulu yang menyatakan bahwa tidak akan berbahagia orang-orang yang zalim. Seakan-akan ada yang bertanya. Bagaimana mereka tidak akan berbahagia ? pertanyaan ini dijawab : itu disebabkan karena kelak di Hari Kemudian Allah akan menggiring mereka ke Padang Mahsyar dan akan meminta pertanggung jawaban atas dosa-dosa mereka, khususnya menyangkut persekutuan terhadap Allah.
Seperti terbaca diatas, kata Jamii’an/semua mencakup penyembah dan yang disembah selain Allah. Itu sebabnya lanjutan ayat menyatakan kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik, bukan menyatakan kami berkata kepada mereka. Dihimpunnya para sembahan itu, untuk lebih menampakkan kehinaan dan kerendahan serta ketidak berdayaan mereka, dan untuk membuktikan bahwa walau sembahan-sembahan itu hadir dihadapan mereka, namun mereka sedikitpun tidak dapat membantu, bahkan mereka akan berlepas diri dari apa yang dilakukan sembahan-sembahan itu demikian juga para penyembahnya.
Kata Tsumma/kemudian pada firman-Nya kemudian kami berkata pada orang-orang musyrik untuk mengisyaratkan jarak waktu penantian yang cukup lama antara keberadaan orang-orang musyrik dan sembahan mereka di padang mahsyar, dengan perkataan/pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Jarak waktu penantian itu, menjadikan mereka lebih gelisah, sekaligus menunjukkan betapa mereka tidak diperhatikan bahkan diabaikan begitu lama, untuk lebih menghina dan melecehkan mereka.
Kata Aina/di mana, digunakan untuk menanyakan tempat sesuatu, sebagaimana digunakan juga untuk menanyakan sesuatu walau tidak memiliki tempat, tetapi diharapkan apa yang ditanyakan itu menjadi perhatian atau dikerjakan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sembahan-sembahan mereka ikut dikumpulkan di padang mahsyar. Jika demikian, pertanyyan tentang di mana pada ayat ini, bukanlah pertanyaan tempat keberadaan mereka, tetapi tentang peranan mereka dalam membantu para penyembahnya. Pertanyyan itu dimaksudkan sebagai kecaman dan ejekan karena ketika itu sungguh jelas ketidakmampuan yang disembah menolong siapa yang pernah menyembahnya.[10]
E.     QS. Al-Hijr : 39-40
39.  Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau Telah memutuskan bahwa Aku sesat, pasti Aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti Aku akan menyesatkan mereka semuanya,
40.  Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis  di antara mereka".


setelah Allah menyampaikan bahwa Iblis akan termasuk mereka yang ditangguhkan hidupnya hingga waktu tertentu, Iblis berkata, “Tuhanku, disebabkan oleh penyesatan-Mu terhadap diriku yakni kutukan-Mu terhadapku hingga hari kemudian, maka pasti aku akan memperindah bagi mereka yakni menjadikan mereka memandang baik perbuatan maksiat serta segala macam aktivitas di muka bumi yang mengalihkan mereka dari pengabdian kepada-Mu, dan pasti pula dengan demikian aku akan dapat menyesatkan mereka semuanya dari jalan lurus menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Upaya tersebut akan menyentuh semua manusia, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas diantara mereka, yakni yang engkau pilih karena mereka telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Mu.[11]
Allah berfirman memberi tahu bahwa iblis berkata kepadanya, “Ya Tuhanku, dikarenakan engkau telah menakdirkan aku tersesat, maka pasti aku akan menyesatkan anak cucu adam dengan membujuk mereka memandang baik segala perbuatan maksiat dan mendorong mereka dengan segala tipu daya agar mereka menjauhi segala perintahmu dan pasti aku akan berhasil dalam usaha penyesatanku ini kecuali terhadap beberapa hamba-hamba-Mu yang memperoleh taufik dan hidayah untuk menaati segala petunjuk dan perintahmu.[12]


 
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Surat al-An’am ayat 160
Pada ayat ini dapat disimpulkan bahwa Allah benar-benar maha adil, dimana Allah akan selalu memberikan karunia-Nya kepada umatnya yang beribadah dengan dasar keimanan dan ketulusan hati dengan memberikan ganjaran pahala sepuluh kali lipat dari amal saleh yang telah dikerjakan, serta hanya memberikan ganjaran yang sesuai dengan maksiat yang dikerjakakdikerjakan manusia.
2.      Surat an-Nisa ayat 79
Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa segala sesuatu kebaikan yang menimpa umat manusia adalah secara mutlak dating dari Allah dan segala sesuatu yang buruk yang menimpa manusia semata-mata karena perbuatan manusia itu sendiri.
3.      Surat Hud ayat 114
Pada ayat ini dijelaskan bahwa segala amal saleh khususnya yang terdapat dalam ayat ini yaitu shalat wajib yang lima waktu dapat menghapus dosa-dosa kecil, dan apabila amal saleh yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan dapat membentengi dirinya sehingga dengan mudah dia dapat terhindar dari keburukan-keburukan.
4.      Surat al-An’am ayat 22
Pada ayat ini Allah akan menunjukkan bahwa Tuhan yang patut disembah hanyalah Allah semata kepada orang-orang yang telah menyekutukannya, dan juga membuktikan bahwa apa yang dulu mereka sembah tidak akan bisa menolong mereka dari siksa Allah SWT.
5.      Surat al-Hijr ayat 39-40
Pada ayat ini disinggung bahwasanya manusia itu mempunyai dua poitensi, yaitu potensi baik dan potensi keburukan. Iblis berusaha ingin memuncukan potensi keburukan yang ada pada diri manusia agar manusia selalu berada di jalan kemaksiatan, terkecuali manusia yang mampu menimbulkan potensi baiknya agar terhindar dari segala macam tipu daya Iblis.




                                                                 


[1] A. Mudjab Mahali, ASBABUN NUZUL: Studi Pendalaman al-Quran surat al-Baqarah – an-Nas, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Persada,2002, hlm. 391-392
[2]M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-4,Jakarta: Lentera hati, 2003,hlm.352
[3]A.Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman al-Quran, surah al-Baqarah – an-Nas,Jakarta:PT Radja Grafindo Persada,2002,hlm. 248
[4] M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-2,Jakarta: Lentera hati, 2000,hlm.497
[5] Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Suyuthi, tafsir jalaludin berikut asbabun nuzul jilid 2,bandung: sinar baru al-gensindo,2004,hlm.943
[6] M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-6,Jakarta: Lentera hati, 2002,hlm.355-357
[7] Kementrian agama RI, syaamil. Al-Quran miracle the reference, saygma publishing, Bandung: 2010,hlm.466
[8] M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-2,Jakarta: Lentera hati, 2000,hlm.362
[9][9] Syaikh Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Jakarta; Pustaka Azzam,2008.
[10] M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-4,Jakarta: Lentera hati, 2003,hlm.51-53
[11] M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-7,Jakarta: Lentera hati, 2002,hlm.128-129

[12] PT. Bima Ilmu, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Surabaya: PT Bima Ilmu Offset,2003,hlm.519-520
 

Hai...cari pengetahuan atau cari tugas?

Pengetahuan anda akan bertambah, tugas anda akan terselesaikan...
Silahkan Klik di Sini